Minggu, 21 Juni 2015

Islamic Group Lending Model (GLM) dan Keuangan Inklusif: Studi Dampak dan Strategi Pengembangan

Oleh: Aam S. Rusydiana & Abrista Devi

Abstract

Kesenjangan akses modal masyarakat miskin terhadap perbankan di Indonesia semakin besar. Hal ini disebabkan oleh masyarakat miskin tidak memiliki collateral yang cukup sebagaimana disyaratkan oleh perbankan untuk memperoleh pinjaman. Lembaga keuangan non bank dalam hal ini lembaga keuangan mikro yang sudah banyak menjamah kelompok miskin serta usaha mikro kecil menengah juga perlu dimaksimalkan keberadaannya, termasuk juga model pinjaman berbasis kelompok (GLM).
Penelitian ini akan mencoba melihat bentuk model pinjaman berbasis kelompok (Group Lending Model) dan bagaimana dampaknya terhadap struktur sosial anggotanya. Penelitian ini juga mencoba memberikan solusi berupa analisis strategi awal pengembangan Islamic GLM agar lebih efektif dan efisien. Metode yang digunakan adalah Structural Equation Modeling (SEM) dan Interpretaive Structural Modeling.
Berdasarkan pengukuran beberapa indikator diantaranya adalah tingkat partisipasi masyarakat, pemberdayaan masyarakat, repayment rate yang baik, cross reporting yang baik, serta penerapan penalty sesuai dengan aturan yang berlaku, hasilnya menunjukkan bahwa dengan adanya program GLM masyarakat merasakan perbedaan baik dari kondisi ekonomi maupun sosial dari sebelum dan setelah mengikuti program. Ini menjadi temuan penting yang berharga.
Adapun strategi pengembangan untuk program GLM ini terbagi menjadi 7 level dengan elemen-elemen terpentingnya antara lain: Perlunya kesetaraan akses dana untuk segala jenis institusi keuangan, baik perbankan maupun model pinjaman berbasis kelompok, Perlunya peningkatan kualitas sumber daya manusia sebagai pionir pelayanan model pinjaman berbasis kelompok ini, serta Pentingnya keuangan inklusif pada seluruh sistem keuangan.

Keywords: Group Lending Model, Keuangan Inklusif, Structural Equation Model (SEM), Interpretative Structural Modeling (ISM), Islamic Empowerment

 

PENDAHULUAN
Kesenjangan akses modal masyarakat miskin terhadap perbankan di Indonesia semakin besar. Hal ini disebabkan oleh masyarakat miskin tidak memiliki collateral yang mumpuni sebagaimana disyaratkan oleh perbankan untuk memperoleh pinjaman. Berdasarkan hasil survey Bank Dunia pada tahun 2010 sebagaimana dikutip dalam jurnal Bank Indonesia (2011) bahwa hampir separuh dari 234,2 juta penduduk Indonesia tidak memiliki akses layanan lembaga keuangan formal. Dari jumlah tersebut, sekitar 35 juta orang hanya terlayani lembaga keuangan non-formal seperti koperasi simpan-pinjam dan sebagainya. Akan tetapi ada sekitar 40 juta orang yang sama sekali belum tersentuh layanan jasa keuangan dalam bentuk apapun.
Diperkuat menurut data Bank Dunia, Global Financial Inclusian Index tahun 2012, menyatakan bahwa akses layanan financial bagi masyarakat di Indonesia masih tergolong sangat rendah dibandingkan dengan negara-negara maju lainnya, yakni berkisar 20%. Hal ini tidak lain juga disebabkan oleh kurangnya kemampuan masyarakat dalam memperoleh pinjaman di lembaga keuangan bank. Pada dasarnya di Indonesia merupakan negara yang memiliki banyak usaha mikro. Sebagaimana dikutip dari Antara News, Menteri Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah, Syarifudin Hasan menyatakan bahwa Indonesia memiliki sekitar 52,1 juta usaha mikro yang bergerak di berbagai sektor dan sangat berpotensi dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Sayangnya pertumbuhan baik ini belum ditunjang dengan akses modal yang baik  pula. Mengingat lembaga keuangan bank merupakan lembaga intermediasi antara pihak yang memiliki kelebihan modal dengan pihak yang membutuhkan dana. Oleh sebab itulah, keuangan inklusi diharapkan dapat menjadi salah satu mekanisme dalam mengurangi kesenjangan sosial dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin di Indonesia.